Epos atau cerita kepahlawanan tak pernah habis menjadi sumber ide bari para pekerja seni tari. Contohnya kisah Untung Suropati, pahlawan dari Bali, melawan penjajah Belanda. Sanggar Tari Padnecwara akan menggelar pementasan langendriyan (tari) dengan lakon Suropati. Pagelaran Suropati berlangsung pada 31 Agustus dan 1 September 2012 di Gedung Kesenian Jakarta.
Ini merupakan karya dari kolaborasi pasangan maestro tari Jawa klasik gaya Surakarta, Theodora Retno Maruti dan Arcadilus Sentot Sudiharto. “Kami ingin menceritakan keseharian, pergaulan, percintaan dan perjuangan Untung Surapati melawan penjajah,” kata Ruly Nostalgia, pimpinan produksi Suropati pada C&R Digital , Selasa (28/7).
Retno Maruti mengemas Suropati dengan konsep modern, sesuai dengan selera masyarakat. Ia juga dikenal sebagai seorang koreografer yang mengembangkan tari Jawa klasik yang dianggap kuno menjadi memukau selera penonton modern dalam beberapa pagelaran monumental. Selain mampu menampilkan seni tradisi dengan suatu kedalaman rasa secara kreatif, Retno Maruti juga berhasil melahirkan seniman dan penari klasik muda.
Pada 2005 Akademi Jakarta memberikan penghargaan Life Achievement kepada Retno Maruti. Ia dianggap sebagai seniman dan budayawan dengan karya-karya bercitarasa tinggi, konsisten dalam berkarya, serta pengabdian di bidang seni dan budaya.
Rury menambahkan Suropati melibaktkan sekitar 70 penari. Butuh persiapan latihan selama empat bulan untuk dapat mementaskannya. Pertunjukannya sendiri akan akan berlangsung 90 menit.
Langendriyan adalah tradisi Jawa, disebut juga seni drama tari. Langendriyan dipentaskan dengan menggabungkan bunyi, narasi, gerak dan mimik muka. Langendriyan ini sangat jarang dipentaskan, salah satunya dikarenakan tuntutan peran peraga yang tak hanya harus luwes menari, namun juga harus bisa melagukan dialog (antawecana) secara spesifik sambil nembang (melantunkan) nyanyian Macapat, serta kuat dalam penghayatan tokoh. “Tingkat kesulitannya sangat tinggi,” kata Rury.
Salah satu ciri dari langendriyan ini adalah, selama pementasannya tari tak dilakukan dengan berdiri utuh namun dengan berjongkok dan sesekali bertumpu pada lutut. Ini membutuhkan stamina dan fisik luar biasa. “Langendriyan, bukan sekadar tarian. Ia merupakan gabungan olah tari, olah vokal dan olah teater. Hanya sedikit orang bisa melakonkannya,” kata Rury.
Sebelumnya Sanggar Tari Panedwara pernah mementaskan Suropati di Klub Bimasena (Jakarta,1999), Graha Bhakti Budaya (Jakarta, 2000), Universitas Atmajaya Jakarta(2003), Denpasar dalam acara Pesta Kesenian Bali (2003). “Dari tahun ke tahun pagelaran Langendriyan Suropati bisa dibilang sukses, penontonya selalu penuh,” kata Rury.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar